Ini life crisis kedua. Bukan perkara mencari gelora. Bukan tentang hidup mau jadi apa. Itu sudah reda. Sepertinya sudah reda. Ini perkara aku ini manusia apa, manusia yang mau membawa hidup ke depannya dengan cara apa. Mau bertahan hidup dengan apa. Melepaskan diri dari keinginan dunia, mengerucutkannya menjadi kebutuhan negeri fana. Hah, dramatis.
Pertama-tama, keinginan untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri dengan keringat sendiri, mengingat umur sudah hampir menginjak 20 tahun dalam kurang dari 3 bulan pula. Mulai malu akan mengemis akan lembaran-lembaran merah, biru, hijau yang ada di tabungan orang tua. Mereka saja bisa menyimpan harta untuk menyekolahkanku sedemikian rupa, mengapa aku yang notabenenya masih tinggal bersama, tidak mampu menyimpan apa yang sebenarnya pun juga masih milik mereka?
Pilihan datang silih berganti. Namun, selimut ketakutan selalu menutupi dan ego tinggi masih susah diperangi. Ini menyoal tentang harga diri. Padahal, di mata sang ilahi, semua simetri. Manusia dan perangai tidak bisa dicerai.
Kembali melihat keadaan. Bersyukur dengan adanya kawan. Saran darinya selalu menenangkan. Mengembalikan kesadaran yang seman. Terima kasih, taulan.
Ditambah kecilnya kota yang sekarang aku tinggali, membuatku ingin lari, mencari sisi luar yang tak ada terminasi, membuatku meminta kepada sang Maha Pemberi, untuk keluarkan aku dari sini, bawa aku ke dunia yang menyepakati ilusi.
P.S.
Kalo galau kok jadi begini. Galaunya sekarang menyoal kehidupan, dewasa belum ya? Belum, masih berantem sama ibunda perihal telat mandi.
No comments:
Post a Comment