Sebelum Senin, 12 Juli 2021, buat gue, main handphone dan scroll Twitter dan Instagram adalah bentuk nggak ngapa-ngapain dan bikin gue fine-fine aja. Little did I know, itu sebenernya adalah salah satu bentuk berkegiatan dan bikin kenapa-kenapa.
Sejak kasus Covid meningkat lagi, khususnya di Jakarta, tingkat keparnoan gue pun ikut meningkat. Masifnya info-info terkait orang meninggal dan keoknya penanganan negara terkait Covid yang berseliweran di timeline Twitter bikin gue tambah anxious. Ditambah, orang-orang terdekat gue satu-satu mulai terjangkit.
Orang-orang rumah gue tau betapa parnonya gue semenjak lockdown beberapa minggu terakhir ini. Udah berapa kali gue marah, ngomel, ngambek sama keluarga gue yang masih ngeyel nerima tamu di rumah di kondisi mencekam kayak gini.
Gue mulai bertanya-tanya ke diri sendiri, kenapa orang bisa loosen up tapi gue nggak. Kenapa orang masih bisa ketawa-tawa, sedangkan gue ketakutan.
Buat gue, memahami gue lagi kenapa itu bukan sebuah rocketscience. Minggu malam menuju Senin dini hari, dengan posisi di atas tempat tidur, gue janji sama diri gue sendiri untuk rehat. Rehat dari sosial media. Malam itu, gue uninstall this one specific social media yang rutin banget gue kunjungi, Twitter. Gue hanya menyisakan Instagram karena kerjaan gue menyangkut Instagram dan there's no possible way I can uninstall that piece.
Masih di malam yang sama, gue udah menyiapkan amunisi untuk mengisi waktu kosong kayak sekarang dengan men-download buku-buku yang selama ini direkomendasiin sama orang-orang. You know, just to keep myself sane amidst the zero interaction on social media.
Senin pagi gue yang biasanya gue buka dengan scroll linimasa Twitter for the sake of being updated to the current situation, udah nggak ada lagi. Senin itu, gue mencoba untuk stay committed to my last-minute decision that I made last night.
Nggak boong, rasanya berat. Besar banget godaan yang gue rasain untuk buka Chrome dan scroll the timeline. Entah apa yang dicari.
Akhirnya gue cari distraksi lain, buku-buku yang udah gue download. Kebetulan juga, Senin kemarin sangat amat lowong. Akhirnya gue menghabiskan waktu gue dengan baca satu novel punya Sally Thorne.
Besarnya konsumsi gue terhadap sosial media berdampak pada attention span gue, di mana terbilang cukup pendek. Ketika gue berhasil namatin The Hating Game-nya Sally Thorne dalam waktu 5 malam aja, gue amazed dan overproud sama diri gue sendiri.
Pasca menamatkan novel dengan 300+ halaman itu, yang ada di pikiran gue cuma, "Gila, ternyata gue bisa ya namatin buku dalam kurun waktu kurang dari seminggu." Mungkin gue terlihat cepat puas (emang iya), tapi gue pun kaget sama kemampuan diri gue untuk bisa functioning di atas kapabilitas yang gue sebelumnya kira nggak mampu.
Perlu digarisbawahi kalau dari malam gue mulai baca The Hating Game sampai pada akhirnya mencapai di titik Josh dan Lucy jadian, ada hari-hari di mana gue udah loosen up the art of disconnecting. Gue kembali buka Twitter, tapi bedanya nggak berlama-lama di dalamnya. Ada kalanya gue pengen banget bercuit tentang hari-hari gue, tapi gue balikin lagi ke diri gue, "Perlu, nggak, sih?"
Pengalaman ini cukup berharga buat gue. Setelah puasa sosmed yang nggak puasa-puasa amat juga, gue mulai pelan-pelan belajar mendengarkan emosi diri gue dan channel it dalam bentuk lain, seperti kembali nulis di notebook pribadi. Langkah kecil buat gue untuk lebih mindful dalam melepaskan perasaan.
Perjalanan gue belum selesai. Masih panjang bagi gue untuk sampai di titik yang gue mau. Ada kalanya gue mikir, "Am I being too hard on myself?", tapi toh selama ini gue juga udah selalu memberi kebebasan itu terhadap diri gue sendiri. Itung-itung semacam mengukur sejauh mana kemampuan gue untuk sticking to commitments.