Tuesday, July 27, 2021

Whirl

“There is no ‘best choice.’ It is what we do after we choose that makes all the difference in how something works out, even when initially things may not turn out so well." 

-Dr. Tebes.


I lost count of how many times I wept myself to sleep. I have whys I did that. Heartbreak, disappointment, desiderium, Saudade, anxiety, stress, resentment, regret, and confusion. 

The other day, it was the latter. I was busy bawling about how I wasn't able to fulfill what I wanted in an instant. The hesitation then came to light. I was and still am unsure whether I could grapple with what I itch for. The inability to take a pause nor stop screwed me more.

Everything once seemed fine and promising. But, all I came across was dubiety. When I thought I already have my life together, I haven't. I kept weeping and lamenting. 

The dolefulness didn't stop overnight. In addition to the chaos, the agony didn't only come from within. They *I need to accent this* DON'T discredit my effort in any slightest way. They only fear the circumstances and predicament I might be facing. Unsure of how excellent I'll pull them off.

Did I ever lose my rag? Like hell I did. Did I ever for once believe in what I'm opting for? A zillion times. But, when the doubt kicked in, I tried to keep my options open. Alterations are fair enough, I suppose.

I'm trying to make peace with these flaming afflictions. Very much aware of unresolved perplexities, I'm giving my best attempt to carry on. All in all, nothing is ever really certain, best bet. 

Sunday, July 18, 2021

Disconnecting

Sebelum Senin, 12 Juli 2021, buat gue, main handphone dan scroll Twitter dan Instagram adalah bentuk nggak ngapa-ngapain dan bikin gue fine-fine aja. Little did I know, itu sebenernya adalah salah satu bentuk berkegiatan dan bikin kenapa-kenapa.

Sejak kasus Covid meningkat lagi, khususnya di Jakarta, tingkat keparnoan gue pun ikut meningkat. Masifnya info-info terkait orang meninggal dan keoknya penanganan negara terkait Covid yang berseliweran di timeline Twitter bikin gue tambah anxious. Ditambah, orang-orang terdekat gue satu-satu mulai terjangkit.

Orang-orang rumah gue tau betapa parnonya gue semenjak lockdown beberapa minggu terakhir ini. Udah berapa kali gue marah, ngomel, ngambek sama keluarga gue yang masih ngeyel nerima tamu di rumah di kondisi mencekam kayak gini. 

Gue mulai bertanya-tanya ke diri sendiri, kenapa orang bisa loosen up tapi gue nggak. Kenapa orang masih bisa ketawa-tawa, sedangkan gue ketakutan.

Buat gue, memahami gue lagi kenapa itu bukan sebuah rocketscience. Minggu malam menuju Senin dini hari, dengan posisi di atas tempat tidur, gue janji sama diri gue sendiri untuk rehat. Rehat dari sosial media. Malam itu, gue uninstall this one specific social media yang rutin banget gue kunjungi, Twitter. Gue hanya menyisakan Instagram karena kerjaan gue menyangkut Instagram dan there's no possible way I can uninstall that piece.

Masih di malam yang sama, gue udah menyiapkan amunisi untuk mengisi waktu kosong kayak sekarang dengan men-download buku-buku yang selama ini direkomendasiin sama orang-orang. You know, just to keep myself sane amidst the zero interaction on social media. 

Senin pagi gue yang biasanya gue buka dengan scroll linimasa Twitter for the sake of being updated to the current situation, udah nggak ada lagi. Senin itu, gue mencoba untuk stay committed to my last-minute decision that I made last night.

Nggak boong, rasanya berat. Besar banget godaan yang gue rasain untuk buka Chrome dan scroll the timeline. Entah apa yang dicari. 

Akhirnya gue cari distraksi lain, buku-buku yang udah gue download. Kebetulan juga, Senin kemarin sangat amat lowong. Akhirnya gue menghabiskan waktu gue dengan baca satu novel punya Sally Thorne.

Besarnya konsumsi gue terhadap sosial media berdampak pada attention span gue, di mana terbilang cukup pendek. Ketika gue berhasil namatin The Hating Game-nya Sally Thorne dalam waktu 5 malam aja, gue amazed dan overproud sama diri gue sendiri. 

Pasca menamatkan novel dengan 300+ halaman itu, yang ada di pikiran gue cuma, "Gila, ternyata gue bisa ya namatin buku dalam kurun waktu kurang dari seminggu." Mungkin gue terlihat cepat puas (emang iya), tapi gue pun kaget sama kemampuan diri gue untuk bisa functioning di atas kapabilitas yang gue sebelumnya kira nggak mampu.

Perlu digarisbawahi kalau dari malam gue mulai baca The Hating Game sampai pada akhirnya mencapai di titik Josh dan Lucy jadian, ada hari-hari di mana gue udah loosen up the art of disconnecting. Gue kembali buka Twitter, tapi bedanya nggak berlama-lama di dalamnya. Ada kalanya gue pengen banget bercuit tentang hari-hari gue, tapi gue balikin lagi ke diri gue, "Perlu, nggak, sih?"

Pengalaman ini cukup berharga buat gue. Setelah puasa sosmed yang nggak puasa-puasa amat juga, gue mulai pelan-pelan belajar mendengarkan emosi diri gue dan channel it dalam bentuk lain, seperti kembali nulis di notebook pribadi. Langkah kecil buat gue untuk lebih mindful dalam melepaskan perasaan.

Perjalanan gue belum selesai. Masih panjang bagi gue untuk sampai di titik yang gue mau. Ada kalanya gue mikir, "Am I being too hard on myself?", tapi toh selama ini gue juga udah selalu memberi kebebasan itu terhadap diri gue sendiri. Itung-itung semacam mengukur sejauh mana kemampuan gue untuk sticking to commitments. 

Thursday, January 14, 2021

Long Gone and Moved On (Bukan Judul Lagu)

Hari keempat belas di bulan pertama tahun 2021, gue bisa-bisanya baru baca DM dari salah satu temen gue yang dikirim hampir sebulan lalu, tentang penilaian dia terhadap gue. Terus bisa-bisanya, gue memvalidasi apa yang dia sebutin di dalam DM itu. We do it best when it comes to observing others, don't you think?

Gue nggak baru ngelakuin sesuatu yang besar-besar banget untuk dunia, tapi besar banget untuk kenyamanan gue, yang mana nggak mungkin gue ceritain di sini. Setelah gue ngelakuin hal itu, salah satu hal yang gue lakukan adalah ngasih tau beberapa orang terdekat gue tentang apa yang baru gue lakuin. Semuanya kasih dukungan penuh, cuma ada satu orang yang juga sekaligus ngasih pandangan kenapa gue do this, do that. 

Semua hal yang gue rasa gue bisa tumpahin, gue buka ke dia. Motif dari apa yang gue lakuin juga dia pun akhirnya tau. Sayangnya, temen gue yang ini pinter dan cukup observant, jadilah dia memberikan hasil penilaian dia terhadap gue yang bahkan sebelumnya gak pernah terbersit di otak gue.

"Tapi ya Naf, ini pandangan gue. Kayaknya karena lu terbiasa tiap pindah jenjang masuk ke lingkungan yang super baru tanpa/minim kenalan dari jenjang sebelumnya, lu cenderung cepet move on deh. Cepet move on ini yang bikin lu terlihat mudah mingling, tapi padahal lu gak merasa mereka semua sebenernya deket sama lu ya wkwkwk."

Ha......ha......ha. Coba dong, ada yang bisa kasih hasil observasi lebih absah daripada ini gak? Gue selalu bertanya-tanya sama diri sendiri, kenapa gue jarang merasa nyaman sama sesuatu (apalagi seseorang) ya? Bahkan orang terdekat sekalipun. Takut sih ini jadi penyakit, tapi setelah dipikir-pikir, trait gue dari gue lulus SD (sejauh yang gue inget ya, gue gak inget momen lulus-lulusan pas gue TK) begitu bentuknya.

Ternyata jawabannya sesederhana karena gue gak menaruh banyak emosi di dalam setiap jenjang hidup gue kali ya, walaupun sebenernya gue lumayan sentimentil, tapi di sisi lain, gue juga tipe orang yang pelupa. Remembering details ain't my virtue.  

Masih dari pendapat orang yang sama, dia lanjut ngomong gini setelah gue kasih lampu hijau terkait pandangan dia. "Cuma lu hati-hati tau, Naf. Takutnya kayak ada yang merasa apa ya, abis manis sepah dibuang. Though, knowing you, you wouldn't care sih wkwk". 

Lagi-lagi, ha.......ha.......ha. Kalimat terakhirnya emang agak :) tapi dia lagi-lagi gak meleset. I could say I master the art of losing friends, jadi gue melengos aja sih kalo bener ada yang pernah merasa di-abis-manis-sepah-dibuang-in gue. No biggie. At all. Toh pada akhirnya, gue ke temen yang itu lagi, itu lagi, karena gue udah merasa nyaman sama yang udah gue punya. Hehe, bahaya. Tuh, lebih bahaya kalo gampang merasa nyaman sama sesuatu daripada sebaliknya. There, my two cents.

Ada lagi yang sebenernya gue takutin dari ini semua. Takut merasa dingin, gak punya perasaan terhadap apapun, tidak punya beban untuk melekatkan emosi terhadap suatu hal. Lebih serem sih. Sebenernya gue tau akar permasalahannya di mana.




....ya dari ketidakpedulian dan kemudahan gue untuk berpaling itu lah. Apalagi.

Thursday, August 06, 2020

Life Is A Playground

Life is a playground, they said. But why does gloominesses also take one huge role in it? I thought playground was only consisting of joys.

The "Last night I lay in bed so blue" by Little Mix felt way much real last night. I went to bed questioning my worth. I woke up to the feeling of being less. My morning felt unnerving up until lunch time came by. The "joy" in me seemed to be away from the "remote control" in me. Yes, I'm referring to Inside Out the movie in case you're wondering.

A few once said that I'm more than this, I'm more than that. The things they told made me feel validated. As affirming as I ever heard, I won't let them eat me. I won't let them consume me. Yet, I am all decayed by the bleakness of one told me. Until hell freezes over.